Photo berikut ini, yaitu panorama yang umum disaksikan tempo dahulu. Saat anak-anak murid ingin masuk sekolah tempat menimba pengetahuan.
Mereka melalui pintu depan yang telah ditunggu oleh tuan guru. Semuanya jalan menunduk sebagai bentuk hormat serta " ngajeni " pada yang lebih tua.
Jalan membungkuk bukanlah sekedar hanya tata langkah penghormatan. Namun juga satu lambang ingin merendahkan diri pada manusia lain yang dinilai lebih berat " berisi ". Dapat ilmunya, dapat usianya, atau dapat lantaran maqam (kedudukan) nya.
Tetapi saat ini itu kelihatannya telah mulai hilang serta mungkin saja cuma tinggal narasi yang dapat dikenang.
Saat ini, pendekatan guru sebagai rekan kadang-kadang jadi kebablasan. Tidak ada lagi sikap sungkan. Tidak ada lagi ewuh pekewuh pada sang guru. Lantaran dikira rekan serta sebatas fasilitator pendidikan.
Saat ini, bila murid tidak berhasil, guru disalahkan.
Saya masihlah ingat, bagaimana dahulu, saya serta kawan-kawan sebaya berlomba menjemput guru kami waktu masuk pagar. Ada yang berebut membawakan sepedanya serta membawakan tasnya. Yang tidak kebagian. Tetaplah dapat berebut untuk masalah salim mencium tangan.
Diperintah guru mengambil kapur yaitu satu kebanggaan prestisius. Mengunjunginya waktu sakit yaitu ketentuan tidak tercatat yang bikin beberapa murid bergegas serta berinisiatif patungan lantas bikin gagasan untuk wujudkan.
Gambar ini bicara kian lebih sebatas tata krama. Namun juga satu kesiapan terima. Serta ikrar tanpa ada kata.
" Kalau kami menginginkan diajari jadi manusia ".
Mudah-mudahan kita kembali jadi bangsa yang tahu tata krama pada yang tua, serta tahu kalau melindungi adab serta sopan santun tidaklah sisi dari keprimitifan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar